INFUS YANG MENAKUTKAN
15 Februari 2015
Aku masih
terjaga hingga dinihari, entah kenapa aku belum merasakan ngantuk yang akan
membuatku beristirahat hari ini. Tak bisa mengerjakan tugas dan tak bisa
menambah tulisanku hari ini. Entah perasaan apa yang kurasakan malam ini, aku
rindu sama keluargaku di Kendari tapi apalah daya tangan tak mampu berjabat dan
raga tak mampu bersua, yang bisa kulakukan hanya mengirim doa dan bertemu
dengan suara ketika aku menelpon. Tapi sejak hapeku rusak 3 pekan lamanya aku
belum sempat untuk menelpon mereka. Aku hanya bisa memandangi wajah mereka di
layar laptop.
Pagi ini begitu sunyi, apalagi dengan
adanya pemadaman lampu yang melanda daerah penempatanku. Hari ini aku menunggu
para siswaku untuk sama – sama membereskan buku – buku yang berada ada di ruang
guru. Rencananya, sebelum ke sekolah aku akan beres – beres dan mencuci,
berhubung hari ini adalah hari minggu di mana terkenal dengan nama HCS atau
hari cuci sedunia. Tapi sangat di sayangkan, karena listrik lagi padam air tak
ada di kamar mandi di rumahku, kecuali jika aku mau menggunakan air sungai
untuk mencuci, tapi aku akan berpikir dua kali jika melakukan hal tersebut,
soalnya nantinya aku akan menjadi promotor kampanye penggunaan air sungai yang
baik dan sehat.
Ketika siswaku datang, aku hanya sempat
untuk merendam pakaianku dan akan aku cuci ketika air telah ada, dalam artian
aku mesti menunggu listrik tidak padam lagi. Hingga akhirnya, aku pun berangkat
ke sekolah ditemani para anak – anak yang semangat untuk membenahi buku. Ada 8
orang totalnya dan langsung saja aku bagi menjadi kelompok berpasang – pasangan
agar mudah aku kordinir.
Masing – masing kelompok, aku berikan
tugas yang berbeda – beda, ada yang meyusun buku pelajaran dari masing – masing
tingkatan kelas, ada yang aku suruh untuk mngumpulkan buku bacaan, ada yang aku
suruh untuk mengumpulkan buku tematik kurikulum 2013 dan ada juga yang aku
suruh untuk membuat papan nama sebagai kode dari buku yang nantiny akan di
simpan didalam rak.
Cukup banyak yang kami butuhkan untuk
menyusun buku – buku yang ada di ruang guru, walaupun setelah aku prediksi
bahwa aku tak bakalan bisa membenahi semuanya, jadi untuk hari ini aku hanya
membenahi sebagian besar saja. Ketika sedang membenahi buku – buku ini, aku
kaget bukan main, karena banyaknya buku yang bagiku inilah yang namanya jendela
ilmu dan bukunya super bagus sekali, buku – buku yang tak pernah tersentuh oleh
tangan – tangan mungil generasi bangsa Indonesia. Di tambah lagi banyaknya alat
peraga baik yang 3D ataupun yang menggunakan cd pembelajaran interaktif, hanya
saja setelah aku berbincang sama salah satu siswa, bahwasanya mereka belum
pernah melihat isi – isi dari kaset pembelajaran tersebut.
Sekitar pukul 2 siang barulah kegiatan
membenahi buku selesai, aku pun bergegas untuk pulang, hanya saja belum tiba aku di rumah
kabar tak sedap menghampiri telingaku. “Pak, Ajum sedang di infus di rumah”
kata ibu yang sempat aku bersalaman di jalan ketika menuju pulang ke rumah, aku
sontak kaget, pak Ajum sampai di infus, berarti sakitnya parah dan itu tak aku
sadari sedari pagi tadi, batinku berucap.
Sontak aku kaget, di depan rumah telah
banyak orang, terlihat pula seorang tenaga medis yang biasanya di sebut oleh masyarakat
desa “mantri” seorang yang berprofesi sebagai pengganti dokter atau bisa
dikatakan perpanjangan tangan dokter untuk mengobati pasien di daerah terpencil
seperti ini. Belakangan aku mengetahui dia bernama pak Juhri, rumahnya di
kampung Gadok tak jauh dari rumah kepala sekolahku, pak Dudu.
Terlihat dari dalam rumah sedang
tertidur pulas dengan infus yang menancap di lengan sebelah kanan yang telah
habis hampir setengahnya. Aku tertunduk takut melihat apa yang sedang
terpampang di depanku ini. Teringat dengan kejadian 10 tahun silam yang dialami
oleh kakakku yang keempat, menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit
dengan infus yang masih tertancap di lengannya. Aku jauh menerawang kejadian
yang sama terjadi terhadap seorang pria yang terbaring di hadapanku. Tapi
sekali lagi jauh – jauh pikiran itu aku buang dari benakku, agar semua hal yang
buruk tidak terjadi lagi. Aamiin
Aku melihat pak Ajum yang sebagai induk
semangku itu terbaring lemas, tak mampu aku melakukan pekerjaanku yang lain,
bahkan untuk membuka handphone sekalipun aku tak mampu, mau ikut membantu tapi
tak tau harus berbuat apa, karena seluruh keluarganya menggunakan bahasa sunda
yang aku tak tau sama sekali. Apalagi ketika pak Ajum merasakan kesakitan yang
diakibatkan menahan perih yang luar biasa melanda dirinya, aku semakin di
buatnya khawatir.
Hingga sore hari, telah terpakai 2 botol
infus, dan kondisi pak Ajum telah baikan, sehingga pak mantri segera pamit dan
pulang dengan menyimpankan obat buat si pasien. Malam hari aku di kagetkan lagi
dengan kondisi pak Ajum yang kembali kejang – kejang menahan sakitnya yang luar
biasa. Tak sanggup aku melihatnya, aku hanya bisa mendoakannya dari dekat dan
dari jauh saja. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuknya. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar