PINTAR, CERDAS DAN ORANG BERUNTUNG
21 Januari 2015
Pintar dalam persepsi
orang pada umumnya adalah seseorang yang memiliki pengetahuan lebih banyak
dibandingkan orang – orang di sekitarnya, banyak disukai oleh orang lain karena
serba bisa.
Cerdas dalam anggapan
orang lain pada umumnya tak jauh beda dengan pintar, tapi terkadang yang mereka
pahami adalah pintar sama dengan cerdas, tapi hal ini sebetulnya keliru, bahkan
tak benar. Sebab, cerdas memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan
pintar. Cerdas memiliki kemampuan bukan hanya sekedar serba bisa tapi memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan secara cepat, teliti dan tepat. Cerdas juga
bisa menempatkan posisinya dalam keadaan nyaman dan aman, bukan sekedar bekerja
secara terus menerus, tapi bisa mempertimbangkan keberlanjutan dari
kegiatannya.
Untung adalah sesuatu
hal yang membuat kita senang, baik dalam keadaan yang nyaman ataupun dalam
keadaan sulit. Setiap orang memiliki peruntungan sendiri – sendiri dan telah
ada ukurannya masing – masing. Orang yang beruntung selalu bisa mengalahkan
orang yang pintar bahkan orang yang cerdas. Jadi urutannya adalah pintar,
cerdas dan orang beruntung.
Inilah pembahasanku
kali ini bersama pak Sanusi, pak Aneng dan pak Tuhri. Sebuah pembahasan yang
lain daripada yang lain. Pembahasan di sela – sela istirahat pertama hari ini,
setelah aku masuk dari kelas dua dan kelas satu yang ditempati oleh pak Deden,
wali kelas satu yang baru aku temui hari ini, karena beliau baru saja keluar
dari rumah sakit, akibat dari penyakit tipes yang menyerangnya beberapa pekan kemarin.
Pembahasan berawal dari
pak Tuhri yang mengajakku untuk ngobrol mengenai disiplin ilmu saya, yang
notabene adalah seorang matematikawan. “sebetulnya saya tidak pandai dalam ilmu
hitung pak” kataku kepada pak Tuhri yang sedari tadi mengambil posisi di
dekatku. “kan begini pak Sapto” pak Tuhri mulai lagi berbicara, “pak Sapto kan
dari matematika, pastilah hobinya berhitung” lanjutnya. “bukan juga pak, saya
hanya senang dengan ilmu hitung dari kecil, tapi ketika di bangku SMA dulu,
saya lebih tertarik dengan ilmu Kimia, hanya saja ketika mendaftar di perguruan
tinggi, pilihan pertama saya yang diterima, yaitu Pendidikan Matematika”
timpalku pada pak Tuhri. Tak lama kemudian pak Sanusi dan pak Aneng ikut
bercengkrama dengan kami, mulailah bercerita saling menimpali satu dengan yang
lainnya. Hingga akhirnya, pak Sanusi mencap dirinya adalah seseorang yang
beruntung. Kenapa demikian? Sebab pak Sanusi adalah orang yang beruntung dari
segi pendidikan, beliau melanjutkan sekolahnya menjadi strata satu di UNMA,
salah satu perguruan tinggi di Menes dekat dengan Pandeglang, beliau mengambil
jutrusan Matematika, tapi tak pandai dalam berhitung, hingga akhirnya ia lulus
dari S1 nya.
Setelah mendapatkan
ijazah S1, ia pun mengikuti ujian persamaan di Diknas agar jabatannya sebagai
pegawai negeri mengalami peningkatan. Benar saja, sesuai dengan itikatnya, ia
adalah orang beruntung, ia lulus dalam seleksi ujian kesetaraan. Hingga ia
akhirnya yang tadinya ia adalah golongan IIB sekarang ia menjadi golongan IIIA,
berkat lulus dari ujian kesetaraan tadi. Kemudian karena adanya ijazah S1 nya
tersebut, ia mencoba peruntungan untuk mengikuti sertifikasi guru yang notabene
melalui seleksi yang ketat dan tak sembarang orang bisa mengikuti hal tersebut.
Dan sekali lagi, beliau lulus dalam sertifikasi guru pada tahun 2013 yang lalu,
betul – betul orang yang beruntung.
Banyak hal yang aku
pelajari hari ini dari perbincanganku terhadap tiga orang guru ini, yaitu niat
yang ikhlas dan terus berdoa kepada sang Pencipta mengenai segala urusan yang
telah dituliskan dalam takdir setiap manusia.
Setelah perbincangan
tersebut, aku mencoba mencari angin segar di luar ruang guru, sembari melihat
anak – anak yang tak mengenal rasa lelah, terus berlari – larian kesana kemari,
kejar – kejaran antara satu dengan yang lainnya, ada juga yang lagi asik dengan
permainan bola volly nya, berhubung depan ruang guru adalah lapangan volly yang
sekaligus sebagai lapangan yang digunakan untuk upacara bendera setiap hari
senin. Hingga mataku tertuju pada satu titik di sudut tiang volly tersebut.
Berdiri sebuah tiang tinggi sekitar 3 hingga 4 meter, tiang tersebut berwarna
putih pudar dengan penampakan yang mulai hilang di sekitaran bagian bawahnya.
Aku pun penasaran dengan tiang panjang tersebut, akhirnya hatiku mengantarkan
aku ke tiang tersebut untuk melihatnya lebih dekat dan lebih jelas lagi.
Setelah dekat, aku baru sadar bahwa tiang tersebut terbuat dari bambu panjang
yang besarnya seperti lengan anak – anak remaja, dijadikan sebagai tiang
bendera merah putih, bendera yang biasa dikibarkan setiap hari senin saat
upacara berlangsung, hanya sebuah bambu yang dicat warna putih, bukan dari besi
pada umumnya di sekolah – sekolah yang ada di kota. Sungguh ironi, sekolah
negeri yang berada di perkampungan pelosok Banten ini, memiliki tiang bendera
hanya dari sebuah bambu. Bukan kepalang aku herannya, aku belum berani
menanyakan kepada pihak sekolah, mengapa tiang benderanya dari bambu, bukan
dari besi pada umumnya? Mungkin dilain kesempatan akan aku tanyakan perihal
yang sampai saat ini menjadi tanda tanya besar dibenakku.
Komentar
Posting Komentar