MATEMATIKA vs BAHASA INGGRIS
20 Januari 2015
Ilmu hitung dan bahasa
asing menjadi salah satu momok di hampir seluruh tingkatan sekolah, mulai dari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dari sabang hingga merauke, dari utara
hingga selatan Indonesia. Keadaan ini memang menjadi salah satu kesulitan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan terutama di Indonesia. Terkadang beberapa
mereka yang pandai dalam ilmu hitung tak bisa dalam memahami bahasa asing,
begitu pun sebaliknya, paham bahasa asing tapi tak paham ilmu hitung. Hal ini
layaknya sudah menjadi rumus tetap dalam kehidupan para pelajar. Walau pun tak
sedikit juga yang bisa memahami ilmu hitung dan bahasa asing tersebut.
Kejadian ini serasa
menjadi bayang – bayang bagi para siswa di SDN Kutakarang 1, sekolah yang
terletak di Kampung Sodong Gantung Desa Kutakarang Kecamatan Cibitung Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten ini memiliki masalah terkait dengan bahasa Inggris,
bahasa yang menurut mereka adalah bahasa yang aneh, dimana lain tulisan lain
bacaan lain pula artinya, sungguh bahasa yang aneh. Tapi hal ini tidak seperti
yang biasa orang lain pikirkan. Siswa di sini memiliki kelebihan dari segi ilmu
hitung, ya seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa, jika paham dengan ilmu
hitung maka lemah dari segi bahasa asing, begitu pun sebaliknya. Hal ini sesuai
dengan teori yang ada, bahwasanya setiap orang memiliki kelebihan dan
kekurangan sesuai dengan takarannya masing – masing.
Hari ini aku memasuki
kelas 5, sekedar untuk perkenalan saja, kemarin kelas 6, kini giliran kelas 5.
Agak kikuk sich, ketika ingin masuk ke dalam kelas untuk pertama kalinya.
Walaupun demikian aku tetap semangat menjalaninya. Ketika masuk pertama kali di
kelas ini, aku telah mendapatkan sedikit informasi mengenai kondisi para siswanya,
walau pun tak 100%, tapi minimal aku telah memiliki gambarannya.
Jumlah kelas 5 berbeda
dengan jumlah kelas 6, kelas 5 lebih banyak dibandingkan kelas 6,
keseluruhannya adalah 29 orang. Ketika aku menyuruh untuk memperkenalkan
dirinya, mereka sedikit malu – malu dan agak takut. Tapi dengan sedikit
motivasi dan semangat yang aku coba beri kepada mereka, akhirnya mereka mau
untuk mempekenalkan diri. Aku pun memberitau mereka untuk memperkenalkan diri
dengan cara menyampaikan nama lengkap, nama panggilan, hobi, cita – cita, mata pelajaran
yang di sukai dan mata pelajaran yang di anggap susah/sulit.
“Perkenalkan nama aku, Sainta,
dipanggil Inta, hobi bermain volly, cita – cita jadi guru....” aku pun langsung
mengaminkan cita – cita dari Inta tersebut, dan memberitaukan kepada seluruh
siswa untuk mengaminkan setiap cita – cita temannya yang di ucapkannya. Inta
mengulangi lagi cita – citanya, “cita – cita menjadi guru”.”Aamiin” teriak
teman – temannya yang lain. “mata pelajaran yang saya sukai adalah Matematika
dan mata pelajaran yang saya anggap susah adalah bahasa Inggris” ucap Inta
selesai memperkenalkan dirinya. Aku pun langsung memberikan aba – aba untuk
memberikan tepuk jempol kepada Inta. “tepuk jempol” teriakku memberikan aba –
aba, “praaakkk praaakkk praaakkkk (suara tepukan tangan) jempol praaakkkk praaakkkk
jempol praaakkkk praaakkkk baguuusss” begitulah aku memberikan semangat buat
para siswa – siswa hebat, anak generasi sunda kebanggaan bangsa Indonesia.
Hari ini aku
bertemu dengan kepala sekolah untuk kedua kalinya, dengan kondisi dan situasi
yang tentunya berbeda dari pertemuanku yang pertama. Banyak hal yang kami
perbincangkan dengan kepala sekolah, Pak Dudu, aku memanggilnya, mulai dari
masalah sekolah hingga masalah politik bangsa ini. Hingga siang hari, aku dan
seluruh guru di sekolah ini mengikuti rapat bulanan yang langsung di pimpin
oleh kepala sekolah sendiri. Banyak agenda yang dibicarakan dalam rapat bulanan
sekolah, diantaranya adalah mengenai kehadiran diriku, guru bantu baru dari
Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa. Aku pun diminta untuk memperkenalkan
diri secara resmi di depan para guru dan kepala sekolah tentunya. Selesai rapat
bulanan, akhirnya kami pulang ke rumah masing – masing.
Banyak hal yang
aku pelajari dari para masyarakat di daerah ini, mulai dari tutur bahasanya
hingga dari prilakunya dalam menyambut warga baru. Setelah dari sekolah, aku
ditemani oleh pak Ajum berangkat ke rumah pak lurah untuk sekedar silahturahmi.
Tapi sayangnya aku tak berjumpa dengan beliau. Hingga kami putuskan untuk
berkunjung ke rumah pak komite. Belakangan aku tau namanya adalah pak Janur. Tak
begitu lama kami di rumah pak komite, kemudian kami lanjutkan ke kampung rolah
badak. Di sana aku bertemu dengan pak RT yang bernama Pak Maria dan
bercengkrama dengan Bu Oom, ibu dari siswa, Kokom Komalasari, seorang ketua
kelas 6. Hingga aku dan pak Ajum bertemu dengan pak Sapri yang baru saja
berkunjung dari rumah mertuanya di kampung tersebut. Akhirnya kami pulang
bersamaan, kembali lagi ke kampung Sodong Gantung, tempat kediaman Pak Ajum.
Komentar
Posting Komentar