CATUR HADI BOWO PURWADI
“Jangan
sesali yang telah pergi, jangan tangisi yang sudah tiada, tetapi bangkitlah dan
bina kembali apa yang telah hilang dan pergi”.
Mungkin itulah kata
pembuka yang menyertai tulisan kali ini sahabat. Aku hidup dalam keluarga yang
sederhana, kebiasaan disiplin, jujur dan nilai-nilai agama telah ditanamkan
sejak dini. Aku anak ketujuh dari delapan bersaudara. Kebayang kan keluarga
besarku besar banget, jika suatu saat punya keluarga masing-masing dan waktunya
acara kumpul keluarga bakalan rame nich kayak orang mau kampanye
aja...hahahaha.
Aku terobsesi terhadap
sesuatu yang membuatku merasa hebat. Dalam keluargaku, aku merasa bangga terhadap
Ibu, Ayah dan kakak-kakakku, terutama kakakku yang keempat. Tapi sayang ayah
dan kakakku yang keempat telah duluan bertemu kepada Sang Pencipta, 11 tahun
yang lalu ayahku tiada kemudian setahun kemudian kakakku, entah kapan diri ini
mendapat giliran, detik inikah?menit inikah?atau hari ini?tak ada satu pun yang
tau kawan. Intinya aku kagum terhadap dua orang pria ini, orang yang
berpengaruh terhadap perjalanan hidupku.
Kali ini aku akan
sedikit cerita mengenai kakakku yang keempat, ia bernama Catur, maklumlah anak
keturunan suku Jawa identik dengan nama yang memiliki makna urutan. Catur
diambil dari bahasa sanksekerta yang artinya empat. Lengkapnya bernama Catur
Hadi Bowo Purwadi, nama yang indah dan unik, sebab jarang ada yang memiliki
nama seperti itu.
Saat kecil beliau
bercita-cita menjadi seorang pilot, bahkan seorang wartawan menuliskannya di
kolong sebuah koran daerah, dengan judul Pedagang
Cilik Bermimpi Jadi Pilot, dengan gambar anak yang sedang menenteng
jualannnya, itulah ia, Catur kecil kawan, yang memiliki cita-cita setinggi
langit. Sampai belakangan aku baru ketahui bahwa langganan kuenya waktu kecil
dulu ketika orang tersebut masih menuntut ilmu disalah satu perguruan tinggi
ternama di kota Daeng, sekarang telah
menjadi seorang dosen, dan hebatnya lagi aku ketemu dengan dia, setelah belasan
tahun lalu terakhir ketemu. Sungguh semua telah ditakdirkan dan telah
digariskan oleh yang Maha Kuasa.
Catur tumbuh menjadi
sosok lelaki yang periang, pandai dan berbakti pada keluarga, hampir mirip
dengan sikap ayahku, rambutnya pun ikal, sama persis, badannya tinggi, putih,
memakai kacamata, lebih terlihat sebagai orang yang cerdas tapi memang ia
seperti itu, dalam bidang seni, jangan tanya lagi, dia pandai bukan main.
Bahkan memiliki kelompok band indie. Aku sedikit mengambil ilmunya. Pernah
celetuknya mengatakan bahwa “kreativitas takkan
pernah mati di dunia ini”, aku mendengarnya ketika masih duduk di bangku
awal sekolah menengah pertama dan nanti ketika di sekolah menengah atas baru
aku bisa membuktikan perkataannya dulu. Hingga sekarang aku masih paham benar
dengan apa yang dia pernah katakan.
Dia seorang yang banyak
memberikan ku pengalaman terhadap hidup ini, semuanya kawan, tanpa terkecuali,
agama, keluarga, sekolah, masyarakat bahkan sampai urusan cinta. Semua keluh
kesahku ditampungnya, ibarat bejana yang tak memiliki volume, tanpa batas.
Kakak juara nomor satu dalam hidupku itu pun mampu menjadi ayah, waktu ayahku
telah duluan menghadap Sang Khalik, ia menggantikan posisi sebagai kepala rumah
tangga.
Waktu itu, ibu, ayah, Catur,
aku dan adikku, Bambang tinggal bersama. Keluarga ku yang lainnya merantau di
provinsi sebelah, jauh dari tempat tinggalku, sekitar perjalanan sehari semalam
jika menelusuri darat, jika menembus langit hanya sekitar sejam saja tapi biaya
yang lebih mahal tentunya. Jadi ketika ayahku telah tiada, Mas Catur lah yang
menjadi kepala keluarga.
Ketika ayahku telah
tiada, Catur tercatat sebagai mahasiswa di jurusan Manajemen Kehutanan Fakultas
Kehutanan Universitas Hasanuddin yang ada Makassar Sulawesi Selatan. Kakakku
ini memiliki segudang prestasi, iri terkadang aku merasakannya. Jika aku
sekarang ini terobsesi dengan angka tujuh karena itu merupakan arti dari namaku,
lain halnya dengan kakakku, Catur. Beliau merupakan anak ke-Empat, lahir tanggal Empat, bulan Empat dan tahun seribu
sembilan ratus delapan puluh Empat.
Semua serba EMPAT kawan, unik dan spesial, ya begitulah ia. Dikampusnya pun
demikian, menjadi yang terbaik saat Ospek, menjadi ketua angkatan untuk di
jurusannya, menjadi mahasiswa teladan, punya kawan dimana – mana, dan masih
banyak yang lainnya.
Senang tak bisa
dihindari begitupun dengan duka. Jodoh, rezki dan ajal sudah ditentukan oleh
Sang Pencipta, hingga akhirnya Catur meninggal di usia yang masih cukup muda, saat
ia duduk kuliah semester Empat. Banyak yang tak menyangka dengan kejadian
tersebut, tapi bagaimana pun kami mesti Ridho dan Ikhlas dengan apa yang
menimpa kami, walaupun terkadang masih ada yang tak percaya dengan apa yang
telah terjadi.
Saat Catur meninggal
tepatnya di hari Selasa, 29 Maret 2005, kegiatan perkuliahan di liburkan dan
untuk mengenang jasa dan dedikasi beliau, pihak kampus ikut mengantar jenazah
hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya dan ikut membantu prosesi ta’ziah
selama 7 hari berturut – turut.
Hingga saat ini banyak
yang aku pelajari dari keteladanan kakakku tersebut. Dan akhirnya aku mencoba
menggunakan namanya sebagai nama aku di dunia maya, CHABO JUNIOR. Yang berasal
dari singkatan nama almarhum kakakku, Catur Hadi Bowo (CHABO) dan kata JUNIOR
aku ambil dari bahasa asing yang artinya adik. Sehingga terbentuklah Chabo
Junior yang artinya adik dari Catur Hadi Bowo.
Itulah mengapa aku tak
ingin mengganti nama dari akunku di sebuah sosial media, dan di setiap sosial
media yang aku punya, selalu aku cantumkan dengan nama Chabo Junior. Sebab aku
selalu ingin mengenang kakakku yang merupakan kakak nomor satu dalam hidupku.
Komentar
Posting Komentar