JALAN KAKI
22 Februari 2015
Suasana pagi
yang berbeda, belum hilang rasa kelelahan yang melandaku kemarin, hari ini aku
mesti lagi keluar untuk menemani kak Heri mengambilan motor yang di pinjamnya
beberapa hari yang lalu sekalian aku harus mengirimkan laporanku dan laporan
kak Heri yang tak bisa di terima oleh pihak manajemen karena kapasitasnya yang
melebihi kuota maksimal pengiriman di email, akhirnya kami mengirimnya melalui
bantuan google drive, dan alhasil laporan kami tak bisa di terima.
Setelah melakukan rapat kecil bersama
dengan teman – temanku ini, akhirnya aku dan kak Heri berangkat untuk
mengembalikan motor dan jika kami nantinya tak mendapatkan pinjaman motor atau
tak ada kendaraan yang bisa kami tumpangi, maka kami berniat untuk berjalan
kaki.
Sebelum motor dikembalikan, kami singgah
untuk mencuci motor tersebut di sebuah pencucian motor yang berada tak jauh
dari pusat keramaian kecamatan. Setelah motor bersih, giliran membelikan
bensinnya, akhirnya kamipun singgah di sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum,
satu – satunya di kecamatan tersebut. Dan setelah barulah kami melanjutkan
perjalanan menuju kediaman kak Heri yang berada di kecamatan yang berbeda.
Aku berniat mampir di sebuah warnet
untuk mengirim laporanku kembali, tapi yang ada ialah lampu yang sedari subuh
tadi masih juga belum mengalami perubahan, masih tetap padam seperti sedia
kala. Desas desus beredar bahwa ada salah satu gardu tiang listrik yang di
tabrak oleh sebuah truk besar dan mengakibatkan padamnya lampu.
Hingga akupun berniat untuk menemani kak
Heri sampai di tujuan. Cukup jauh ternyata jarak rumah kak Heri. Akupun sungguh
kagum terhadapnya, pejuang muda ini begitu tangguh menaklukkan kondisi jalanan
yang menantang adrenalin ini.
Setibanya di lokasi kak Heri, kami pun
sedikit rehat di sebuah warung kecil sembari membeli cemilan yang berujung
makan indomie rebus. Setelah lama di kediaman kak Heri, akhirnya kami pamit
sama induk semang kak Heri. Kulirik jam tanganku yang menempel disebelah kiri,
menunjukkan pukul 11.47 WIB.
Tak lama setelah kami berjalan, akhirnya
kami mencoba untuk menumpang di sebuah mobil bak terbuka pengangkut kelapa dan
pisang, walaupun tak sampai di lokasi yang akan kami datangi, tapi cukuplah
untuk menghemat energi perjalanan kami hari ini. Di dalam mobil tak hentinya
aku berdecak kagum terhadap supir yang membawa mobil ini dan tak hentinya pula
aku menghujat pemerintah, karena tak ada rasa iba terhadap jalanan yang selalu
menjadi jalan utama bagi para warga di sekitar sini. Sempat kami mengalami kejadian
yang tak terduga, yaitu ban mobil depan bagian kiri meletus. Lama kami menunggu
untuk penggantian ban mobil tersebut. Hingga akhirnya kami kembali naik mobil
tersebut setelah berhenti sejam lamanya.
Tak jauh dari kejadian tersebut,
akhirnya tibalah di lokasi terakhir pemberhentian barang bawaan yang diangkut
oleh mobil itu, dan berakhirlah tumpangan kami, sehingga kami mesti jalan kaki
hingga pasar yang ada di cibaliung dengan harapan ada lagi tumpangan yang bisa
kami tumpangi.
Alhasil, karena kondisinya masih mati
lampu, kami belum bisa mengirim tugas ke pihak pengelola. Sempat kami menunggu
di mesjid, berharap sore hari listriknya telah menyala, tapi tak kunjung ada
tanda – tanda lampu akan menyala, hingga sore menjelang maghrib saat kami beranjak
pulang dengan berjalan kaki. Jarak yang kami tempuh sungguh lumayan jauh. Dan
gelap mulai menampakkan jati dirinya menemani perjalanan pulang kami ke daerah
Cimanggu.
Hampir setiap orang yang kami temui
dijalan mengatakan lokasi yang akan kami tuju itu sangat jauh. Namun, kami
hanya memiliki tekad dan semangat yang tinggi untuk bisa tiba di lokasi tempat
mba Ulfa berada. “punten pak, bu...” kata kami bersamaan memberi ucapan kepada
warga yang kami temui, “manggaa... bade’ kemana kang?” tanya orang yang kami
temui tadi, “bade’ ke kampung Tagelan”, “tebih amat kang”, “muhun ibu, pak,
tidak apa – apa” hanya itu yang kami sering ucapkan pada tiap masyarakat yang
kami temui sembari mengakrabkan diri kepada mereka.
Kami melewati sawah, perkampungan hingga
hutan yang sangat sepi dan gelap, hingga kami mendapatkan musibah dengan adanya
gonggongan anjing yang sangat banyak di sebuah kampung yang kami lewati,
sebanyak 8 ekor anjing mendekat dan saling menggonggong keras, siap untuk
menerkam kami setiap saat, tanpa ada yang memperdulikan kami disekitaran
kejadian tersebut, bahkan yang empunya anjing saja tak menghiraukan hal
tersebut.
Dengan sikap dan kondisi yang terus
menerus jalan, akhirnya kami tiba di tujuan kami tepat saat adzan isya
berkumandang. Tak ubahnya sebuah pemburu menemukan hewan pemburuannya, atau seorang
pencari harta karun, menemukan harta cariannya, atau layaknya seorang yang
menjadai juara di sebuah ajang kompetisi, seperti itulah suasana yang kami
rasakan, sungguh gembira bisa tiba di rumah tanpa kurang satu apa pun,
melainkan menambah pengalaman kami yang begitu mengasyikkan, jauh, lelah bukan
lagi menjadi masalah, karena kami bersama dalam ukhuwah islamiyah yang
membanggakan.
Komentar
Posting Komentar