ISMA dan JAMBU MERAHNYA



ISMA dan JAMBU MERAHNYA
Sekonyong-konyong aku berjalan keluar dari sekolah tempatku magang di hari kamis yang cerah, kristal-kristal air di langit tampak tak bergandengan di akibatkan telah tumpah dihari sebelumnya, matahari tampak ganas memancarkan sinarnya menambah energi kehidupan yang banyak memberi senyum terindah kepada mereka yang lagi membutuhkannya.
Kehidupan itu memang unik, ada kalanya kita mesti menengok orang lain agar kita bisa memperbaiki perilaku dan sikap kita, ada pula kita meminta pendapat kepada seseorang hanya untuk sekedar memberi penilaian kepada apa yang telah kita lakukan dihari itu, bahasa inteleknya biasa disapa dengan kata refleksi. Banyak cara untuk melakukan refleksi, termasuk dengan bercerita dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Cara ini biasa juga digunakan untuk mengetahui tabiat atau sikap asli seseorang, tentunya orang yang paham betul dengan dia atau orang yang paling dekat dengannya.
Kamis, 2 Oktober 2014, aku keluar dari sekolah tempatku magang, denga tertatih ku berjalan di bawah terik matahari yang dengan nyaman memberikan cahayanya. Aku ditemani oleh dua orang sahabatku yang juga statusnya sama denganku, guru magang, pergi untuk menemui orang tua dari siswaku. Jarak rumahnya dengan sekolah tidak begitu jauh, jalan sebentar saja langsung tiba. Jadi panasnya terik matahari tidak begitu menyengat kulit yang telah lain rasanya akibat pemanasan global yang semakin tinggi.
Aku sadar kunjungan ini membuatku tak enak hati, bagaimana tidak, ketika aku tanyakan pada para siswaku dikelas, bahwasanya siapa yang bersedia dikunjungi rumahnya untuk ngobrol bersama orang tuanya, banyak yang mengacungkan tangan, mengisyaratkan bahwa mereka ingin rumahnya di kunjungi oleh guru baru mereka. Dan untuk kunjungan kali ini, kunobatkan ke rumah Isma, lengkapnya Ismayanti. Siswi kelas IV-B itu terkenal sering terlambat datang disekolah. Hal inilah yang menjadi faktor kenapa arisan ke rumah orang tua jatuh padanya.
Setiba dirumah Isma, aku bertemu dengan ibu, ayah dan keponakannya. Mereka asyik bercengkrama di bawah pohon nan rindang dengan balutan angin tengah hari yang begitu menggoda mata untuk menutup agar beristirahat. Aku terperangah, melihat pohon nan rindang tersebut, bagaimana tidak, pohon tersebut tengah menunjukkan betapa suburnya ia, dengan bergelantungannnya buah hasil dari penyerbukan, dimana benang sari yang hinggap di kepala putik dan bakal biji mulai berkembang, dan akhirnya akan jadi buah. Proses yang panjang, sistematis dan butuh proses, hingga terlihat seperti kawanan sawah yang menguning akibat padi yang telah tumbuh dan siap untuk di panen. Hal ini pun terlihat pada pohon jambu di hadapanku, daunnya yang hijau nan lebat bercampur dengan megahnya buah berwarna merah, menambah semangat setiap orang yang melihatnya. Dari bagian bawah hingga pucuk daunnya sangat indah di pandang mata. Sedari tadi kutatap para sahabatku pun terkagum dengan apa yang nampak dihadapannya.
Sedikit aku lupa, tersadar dalam lamunanku melihat pohon indah ini. Dari tadi kulihat tuan rumah pun sibuk dengan peralatannya memberikan suguhan pada kami. Membawa senampan, diatasnya tergeletak tiga buah gelas dan sebotol air dingin sekedar pelepas dahaga di siang itu. Ditambah lagi, ayah Isma mengambilkan kami jambu yang masih segar, langsung dari pohonnya. Sungguh nikmat hari ini, batinku dalam hati.
Ketika suasana mulai kondusif, kami tak begitu lagi menomorsatukan kekaguman kami terhadap apa yang kami lihat, tapi lebih kepada fokus terhadap maksud dan tujuan kami datang berkunjung ke rumah Isma. Aku pun mulai memberitaukan maksud kami, asal kami dari mana dan tujuan kami datang.
Asyik dengan obrolan kami, ibu Isma mulai bercerita, bagaimana keadaan Isma jika di rumah, kebiasaan Isma dan kegiatan yang dilakukan jika Isma di rumah, ternyata Isma orangnya cuek super habis. Bukunya hampir tak pernah ia sentuh jika dari sekolah soal latihan tidak diberikan, dia pula tak sanggup jika begadang, selepas pulang ngaji dari maghrib hingga menjelang pukul 8 malam, ia langsung tiduran di depan telivisi sampai terkadang ia yang di tonton oleh telivisinya sendiri. Bahkan di pagi harinya, ia kadang malas-malasan untuk bergegas ke sekolah, walaupun sang bunda telah mengingatkan ia untuk segera ke sekolah, tapi tetap Isma timpali dengan celotehan “sekolah Isma dekat kok bu, jadi ibu tenang aja, Isma takkan terlambat ko, santai...”. dengan kebiasaan seperti itu. Jadi wajarlah jika ia sering terlambat ke sekolah. Menganggap semuanya serba gampang dan mudah. Ya alhasil keterlamabatannya ke sekolah sudah tak mampu di hitung oleh jari jemari tangan.
Ismayanti, terlahir dari keluarga sederhana, dengan ibu bernama Yuni dan ayah bernama Marsan. Ia anak keempat dari empat orang bersaudara, kakak-kakaknya, semuanya, merupakan lulusan dari SD Negeri Lebakwangi tempat ia menuntut ilmu dan tempat kami magang saat ini. Boleh dikata, sekolah ini merupakan sekolah turun temurun keluarganya. Ayahnya pun ternyata, menggunakan almamater yang sama dengan anak-anaknya. Aku curiga, ayahnyalah yang menyuruh mereka untuk sekolah di sana.
Pendidikan di keluarga Isma bisa dikata masih jauh dari sekolah tinggi. Kakak pertama Isma, seorang laki-laki, hanya lulus dari bangku SMP. Setelah lulus ia melanjutkan ke pesantren setingkat SMA tapi kandas tengah jalan. Akhirnya ia keluar dari pesantren. Sekarang ia telah berkeluarga dan memiliki abak satu. Kakak keduanya, seorang laki-laki pula, ia hanya lulusan sekolah dasar, kemudian lanjut ke pesantren yang setingkat dengan SMP, namun sayang, pendidikannya karam tengah jalan, ia pun keluar dari pesantren. Hingga sekarang ia lagi menunggu panggilannya untuk menjadi anak buah kapal (ABK) yang berlayar ke benua Asia dan Eropa. Kakak ketiganya, seorang wanita yang sekarang telah bekerja dan sudah cukup banyak pengalamannya di dunia kerja. Ia lulusan SMK jurusan Administrasi, malang melintang di dunia kerja telah mengisyarakatkan banyak makan garam. Terakhir Isma, ia berkeinginan setelah lulus dari sekolah dasar, ia ingin masuk ke pesantren, mengikuti kakaknya terdahulu, tapi ia tak mau seperti kakaknya yang hanya setengah jalan.
Orang tua Isma, bekerja apa adanya, bukan petani ataupun bukan kerjaannya yang pergi ke kebun untuk mengolah ladang. Ayah Isma bekerja sebagai penjaga kuburan dekat sekolah yang khusus untuk warga parung, beliau bertugas sebagai pembersih kuburan temani dengan tiga orang kawannya yang mendapatkan honor yang lebih dari cukup. Aku pun tak tau berapa besarnya harganya. Ibunya seorang Ibu Rumah Tangga yang raji, ia hanya di rumah untuk mengurusi anak-anaknya. Kadang kala, jika musim jambunya berbuah seperti saat ini, ibunya menjual jambunya di sekolah. Ya, bermodalkan garam yang diulek dengan lombok serta kantong kresek untuk wadah jambunya, jadilah ia menjual dipelataran sekolah, targetnya ialah siswa-siswi sekolah serta para gurunya yang kepengen makan jambu, seperti ngerujak mini.
Setelah lama aku asyik bercerita, tak terasa waktu hampir beralih dari siang ke sore hari, sahabatku pun ada yang terjerumus dan terjangkit virus nyaman di bawah pohon rindang nan angin semilir, ia ternyata tidur dalam posisi duduk. Sungguh lelah terpancar dari wajahnya. Aku tak menyangka ia bisa tertidur seperti itu, walau aku pun terkadang seperti itu. Obrolan pun kelar, akmi meminta ijin untuk pamit kembali beraktivitas seperti biasa. Tapi sebelum kami pulang, kami di tawari untuk datang seminggu lagi, hanya untuk sekedar mencicipi jambu yang telah banyak masak. Tawaran itu pun kami iyakan dan kami catat dalam benak kami masing-masing untuk melaksanakannya seminggu lagi, hitung-hitung bisa jadi rujak sederhana, mantap, pikirku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DDS (Donor Darah Sedunia)

Review Buku MASIH ADA Karya Bang Syaiha

CATUR HADI BOWO PURWADI